Kamis, 30 Oktober 2008

Allah Bersemayam diatas 'Arsy

Ketika membaca salah satu blog dari Malaysia, Seorang yang Tak rela ketika Para Ulama mengatakan bahwasanya Syaikh Alawi Maliki adalah sesat (Beliau telah mengarang Kitab seputar Tawassul dan Banyak membawakan Hadits Dhaif). Seorang yang mengatakan bahwasanya Allah Exist Without Place. Seseorang yang telah menghina para Ulama dan merendahkan mereka. Seorang yang bernama Abu Syafiq.

Lahaula wala Quwata ila billah.

Karena aku bukanlah Ahli Hadits ataupun seorang yang Ahli Berbahasa Arab, maka aku tak ingin berpanjang lebar seputar masalah ini. Karena Masalah tentang Dimanakah Allaah? Sudahlah Jelas, Semua Sahabat, Para Ulama terdahulu dan para Ahlusunnah wal Jama'ah mengimani hal yang sama.

Suatu Saat seorang datang ke Majelis Imam Maliki, orang tersebut menanyakan tentang Istiwa' Allah.

Imam Malik menjawab :
Firman Allah :"(Yaitu) Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy.” [Thaahaa: 5]

"Istiwa’-nya Allah ma’lum (sudah diketahui maknanya), dan kaifiyatnya tidak dapat dicapai nalar (tidak diketahui), dan beriman kepadanya wajib, bertanya tentang hal tersebut adalah perkara bid’ah, dan aku tidak melihatmu kecuali da-lam kesesatan.”Kemudian Imam Malik rahimahullah menyuruh orang tersebut pergi dari majelisnya. [[Lihat Syarhus Sunnah lil Imaam al-Baghawi (I/171), Mukhtasharul ‘Uluw lil Imaam adz-Dzahabi (hal. 141)]]

Kemudian perkataan serupa juga datang dari Imam Hanafi
"Barangsiapa yang mengingkari bahwa Allah k berada di atas langit, maka ia telah kafir.”[[Lihat Mukhtashar al-‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffaar (hal. 137, no. 119)]]

"Lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy.” [Al-A’raaf: 54]

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
“...Pandangan yang kami ikuti berkenaan dengan masalah ini adalah pandangan Salafush Shalih seperti Imam Malik, al-Auza’i, ats-Tsauri, al-Laits bin Sa’ad, Imam asy-Syafi’i, Imam Ahmad, Ishaq bin Rahawaih dan Imam-Imam lainnya sejak dahulu hingga sekarang, yaitu mem-biarkannya seperti apa adanya, tanpa takyif (mempersoalkan kaifiyahnya/hakikatnya), tanpa tasybih (penyerupaan) dan tanpa ta’thil (penolakan). Dan setiap makna zhahir yang terlintas pada benak orang yang menganut faham musyabbihah (menyerupakan Allah dengan makhluk), maka makna tersebut sangat jauh dari Allah, karena tidak ada sesuatu pun dari ciptaan Allah yang menyerupai-Nya.

Seperti yang difirmankan-Nya."Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dan Allah-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat."[Asy-Syuuraa: 11]

Tetapi persoalannya adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh para Imam, di antaranya adalah Nu’aim bin Hammad al-Khuza’i -guru Imam al-Bukhari-, ia mengatakan: ‘Barangsiapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, maka ia kafir. Dan barangsiapa yang mengingkari sifat yang telah Allah berikan untuk Diri-Nya sendiri, berarti ia juga telah kafir.’ Tidaklah apa-apa yang telah disifatkan Allah bagi Diri-Nya sendiri dan oleh Rasul-Nya merupakan suatu bentuk penyerupaan. Barangsiapa yang menetapkan bagi Allah Azza wa Jalla setiap apa yang disebutkan pada ayat-ayat Al-Qur-an yang jelas dan hadits-hadits yang shahih, dengan pengertian yang sesuai dengan kebesaran Allah, serta menafikan segala kekurangan dari Diri-Nya, berarti ia telah menempuh jalan hidayah (petunjuk).”
Lihat Tafsiir Ibni Katsiir (II/246-247)

Imam ath-Thahawi rahimahullah berkata: “Allah tidak membutuhkan ‘Arsy dan apa yang di bawahnya. Allah menguasai segala sesuatu dan apa yang di atasnya. Dan Dia tidak memberi kemampuan kepada makhluk-Nya untuk mengetahui segala sesuatu.”

Kemudian beliau rahimahullah menjelaskan: “Bahwa Allah mencipta-kan ‘Arsy dan bersemayam di atasnya, bukanlah karena Allah membutuhkan ‘Arsy tetapi Allah mempunyai hikmah tersendiri tentang hal itu.” [[Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyah (hal. 368-369), takhrij dan ta’liq Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdil Muhsin at-Turki]]


Alkisah….. Imam Muslim dan lainnya telah meriwayatkan dari Muawiyyah bin al-Hakam as-Sulami Radhiyallahu ‘anhu ia berkata. “ Aku memiliki sekawanan kambing yang berada diantara gunung Uhud dan Jawwaniyah, disana ada seorang budak wanita. Suatu hari aku memeriksa kambing-kambing itu, tiba-tiba aku dapati bahwa seekor serigala telah membawa (memangsa) salah satu diantara kambing-kambing itu, sementara aku seorang manusia biasa, aku menyesalinya, lalu aku menampar wanita itu. Kemudian kudatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kuceritakan kejadian tersebut kepadanya, beliaupun membesarkan peristiwa itu atasku, maka kukatakan (kepadanya) : 'Wahai Rasulullah, tidakkah (lebih baik) aku memerdekakannya?' Beliau berkata : 'Panggillah ia!' Lalu aku memanggilnya, maka beliau berkata kepadanya : 'Dimana Allah?' Wanita itu menjawab : 'Diatas'. Beliau bertanya lagi : 'Siapakah aku?' Ia menjawab : 'Engkau adalah utusan Allah!' Beliau berkata : 'Bebaskanlah (merdekakanlah dia)! karena sesungguhnya dia adalah seorang wanita yang beriman'." [Ahmad V/447, Muslim No. 537]

Maka saudaraku... Kaum muslimin, marilah kita mengimani apa-apa yang Rasulullaah, Para Sahabah, Para Ulama terdahulu Imani tentang Allah yang bersemayam di atas 'Arsy. Dan tidak menyamakan-Nya dengan sifat makhluq-Nya.

Barakallaahu fikum.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar